Mengapa Tak Seharusnya Orang Membeli dan Menjual Prompt AI
Ada fenomena lucu sekaligus tragis dalam perkembangan teknologi sekarang: prompt AI berubah jadi komoditas. “Sesuatu” yang harusnya dipakai sebagai alat eksplorasi, malah diperlakukan kayak barang dagangan. Dijual bebas. Dipaketin. Dikasih label "siap pakai untuk semua kebutuhan." Kayak mie instan, bedanya ini nggak ada bumbunya.
Orang-orang makin gemar berburu prompt AI kayak lagi cari voucher diskon. Semua pengin serba praktis, serba cepat, serba instan. Bikin konten tinggal beli prompt. Nulis artikel tinggal beli prompt. Ngobrol sama AI? Ya… tinggal tempel prompt hasil beli. Proses mikir dipotong. Proses belajar dilewati. Yang penting hasil keluar.
Bagus nggak? Urusan nanti.
Jangan Jualan atau Beli Prompt AI, Kenapa?
Ngomongin soal prompt AI ini, bukan berarti mau matiin usaha orang. Nggak segitunya juga. Jualan apa aja itu hak masing-masing. Yang sudah telanjur jual atau sudah telanjur beli, ya santai aja. Hidup-hidup kalian, duit-duit kalian.
Tapi yang mau saya bahas di sini lebih ke orang-orang yang sekarang lagi kepikiran, "Eh, jual prompt cuan nih kayaknya." atau "Eh, beli prompt ajalah biar nggak ribet."
Nah, ini nih yang pengin saya ajak ngobrol. Bukan nyerang, bukan ngegas, cuma karena agak prihatin aja. Karena kalau semua serba copy-paste dan malas mikir, sayang banget rasanya di era AI malah cara mikir manusianya makin mundur.
Jadi, kenapa orang gak seharusnya jualan atau beli prompt AI? Karena alasan-alasan ini.
1. Prompt AI Itu Bukan Jampi-Jampi
Entah sejak kapan, prompt AI diperlakukan kayak mantra sakti. Cukup bisikkan kata ajaib ke kolom chat, lalu ... cling! Keluar jawaban paling cerdas sedunia.
Lucunya, banyak yang percaya begitu. Padahal, AI itu bukan cenayang. Bukan sulap, bukan sihir. AI itu ... ya, basically robot cerewet yang butuh dipandu pelan-pelan. Dia butuh konteks, penjelasan, butuh diladeni dan dimengerti juga kayak wanita.
Jadi kalau ada yang jualan “PROMPT AUTO JADI!”
Terus ada yang beli dengan harapan hidupnya langsung beres? Kayaknya itu sih level optimisnya udah nggak manusiawi lagi.
Karena faktanya:
Beli prompt itu nggak otomatis bikin hasilnya wow.
Beli prompt itu nggak otomatis bikin output-nya sesuai isi kepala.
Beli prompt itu nggak otomatis bikin AI paham isi hati.
Sama aja kayak beli kunci jawaban buat ujian open book. Soal boleh ada di depan mata. Jawaban boleh di tangan. Tapi kalau nggak ngerti cara makainya? Ya tetep aja zonk kan?
2. Prompt Itu Produk Trial Error, Bukan Produk Jadi
Kalau ada yang bilang, “Ini prompt bisa dipakai semua orang!”
Percayalah, itu kalimat paling overpromise sejak brosur skincare bilang “cocok untuk semua jenis kulit.” Atau “kecap nomor satu”.
Iya sih, bisa dipakai semua orang. Tapi hasilnya? Ya gitu-gitu aja. Standar pabrik. Steril. Hambar. Flat kayak hidup yang tanpa harapan.
Karena prompt AI yang bagus itu nggak turun dari langit. Nggak muncul dari hasil copy paste marketplace. Dan apalagi ... nggak lahir dari folder drive berjudul “Prompt Serbaguna Final Fix Banget V.7”.
Prompt yang works itu lahir dari proses paling manusiawi di dunia:
Nyoba → Jelek → Betulin → Jelek lagi → Tweak dikit → Masih jelek → Ngulang lagi → Eh, akhirnya dapet juga.
Ada proses mikirnya. Ada proses trial errornya. Ada proses ngamuk-ngamuk sendiri karena AI malah jawab hal random kayak lagi ngelantur habis begadang.
Justru di situ serunya. Karena makin sering utak-atik, makin kerasa:
“Oh, ternyata cara ngomong gini bikin AI lebih nurut.”
“Oh, ternyata kalau gini malah keluar joke absurd.”
“Oh, ternyata nyuruhnya jangan kayak bos nyuruh intern.”
Dan ini yang nggak dijual di paket prompt siap pakai itu. Yang dijual cuma kerangkanya. Yang bikin powerful itu justru cara mikirmu sendiri. Cara meracik. Cara ngegas. Cara ngerem. Cara ngajak AI ngobrol kayak partner, bukan kayak Google versi mahal.
Karena ya gimana ya ... Mau dapet hasil istimewa tapi ogah proses trial error, itu sama aja kayak mau makan mie instan tapi nggak mau masak air. Ujung-ujungnya? Ya nyemilin mie kering ajalah, sambil nelen ludah.
3. Budaya Copy Paste: Bahaya yang Jarang Disadari
Ada satu kebiasaan yang makin lama makin jadi ciri khas user AI pemalas: Nggak mau mikir, maunya tinggal comot. Model pertanyaannya pun seragam, klise, membosankan, dan udah kayak template warisan:
"Ada prompt-nya nggak?"
"Ada formatnya nggak?"
"Ada contekan jadi nggak?"
Ini tuh kayak anak sekolah yang dari awal udah nggak niat belajar, tapi galak minta kunci jawaban. Lama-lama jadi kebiasaan. Eh, pada nyontek yah pas sekolah? Gak mau nyatet pelajaran guru sendiri?
Padahal, skill paling mahal di era AI nanti bukan:
→ "Punya banyak prompt"
Tapi:
→ "Punya skill ngobrol sama AI kayak ngobrol sama manusia."
Karena ngobrol sama AI itu bukan kayak kasih perintah ke robot vacuum. Ngobrol sama AI itu kayak ngajarin anak kecil: sabar, jelas, bertahap, penuh logika, tapi kadang butuh rayuan juga biar nurut.
Sayangnya, banyak yang mau jalan pintas aja. Mentalnya copy paste selamanya. Padahal, AI makin ke depan makin pintar. Sayang banget cuma dikasih prompt kopian mulu. Ainya mubazir, kamunya juga nggak makin pinter.
Jadi, Mau Sampai Kapan Copy Paste Terus?
Mau beli prompt? Silakan. Mau jualan prompt AI ya silakan, mumpung juga masih ada yang mau beli karena males mikir.
Nggak ada yang ngelarang kok. Lagian duit-duitmu sendiri juga. Usaha-usaha kamu juga. Dengan tulisan ini, saya enggak melarang apa-apa. Apa sih hak saya? Cuma ya, saya menyuarakan keprihatinan saya saja.
Sudah banyak orang yang gak mau baca detail dan lengkap, masih ditambah mental kopas. Sedih banget saya lihatnya.
Jadi, cukup saya ingatkan saja. Setiap kali beli prompt orang, itu artinya lagi nyewa cara mikir orang lain buat dipake sebentar. Kayak minjem otak, tapi nggak pernah belajar cara makainya. Dan makin sering dipake, makin kelihatan:
Output-mu bukan hasil eksplorasi.
Bukan hasil belajar.
Apalagi hasil mikir.
Tapi cuma hasil copy paste yang ... kebetulan aja nggak typo.
AI makin hari makin pintar. Sayangnya, manusia yang nggak mau mikir juga makin banyak. Berlomba-lomba cari prompt paling instan, paling gampang, paling cepat.
Sampai lupa: yang bikin sebuah prompt works itu bukan karena kalimatnya canggih.
Tapi karena cara mikirmu yang jalan.
Gitu aja.
0 comments