Freelance VS Kantoran: Karena untuk Jadi Sugarbaby Sudah Ketuaan
Sebenarnya tuh, yang saya butuhkan cuma satu: Percaya.
Tapi, ya kalau segala sesuatunya enggak pasti, gimana saya percaya kalau semua akan baik-baik saja. Ya toh? Make sense dong! Apalagi yang modelan overthinking overworrying overweight kayak saya. Maunya serba settled, serba mapan, serba nyaman, serba pasti ...
Lah emang ini dunia milik nenek lu, Mak?
Hahaha. Bingung ya, sama racauan saya?
Nggak perlu bingung. Itu ungkapan kegalauan saya gara-gara diputusin klien. Iya, cyint, diputusin mantan mah saya nggak apa-apa, asli! It's his loss. Tapi, diputusin klien, saya baper.
Pertanyaan yang muncul: Apa ya yang kurang? Apa ya yang keliru? Apa yang salah?
Saya tanya begitu ke klien, kliennya jawab, kita cuma mau ganti strategi kok, Kak.
Saya nggak percaya. Pasti ada apa-apanya.
Hahaha. Emang curigaan saya mah.
Ya, begitulah dilema freelancer ya. Kalau masih kantoran, saya jauh-jauh dari perasaan beginian. Adanya ya aman saja, gitu. Bulan depan toh ada gaji lagi. Selama perusahaan nggak bangkrut aja. (Lha, itu dia. Masalahnya saya 4 kali kerja di perusahaan, yang 3 saya resign terus bangkrut. Wakakak).
Tapi ya di perusahaan terakhir saya stuck. Merasa enggak berkembang, sekaligus merasa nggak dibutuhkan lagi juga. Ngapain saya bertahan? Saya lebih baik mundur, kalau memang kontribusinya kurang. Apalagi sudah enggak ada respek lagi.
Capek berpolitik di kantor (padahal ya kecil kantornya), mendingan saya freelancer aja. Nggak perlu berurusan sama coworker juga. Nasib saya sih, seringnya disayang sama atasan, tapi sering bermasalah sama coworkers. Hahaha.
So, saya nggak mau punya coworkers lagi. Selama freelancing, ada sih partner kerja, beberapa kali saya meng-hire penulis buat bantuin proyek. Tapi bisa bener-bener profesional, no drama-drama club deh.
Jadi, kenapa pilih jadi freelancer, Mak?
Ya, memang ada plus minusnya sih.
Plusnya Jadi Freelancer
Tentukan sendiri gajimu
Saya sering dapat pertanyaan, berapa fee jasa ini, jasa itu. Ya, sebenarnya saya sih punya price list yang sifatnya official. Tapi, lebih sering saya menggunakan pricelist ini justru untuk "menolak" klien. Bukan gegayaan, tetapi kadang kita memang harus mengukur kemampuan kita. Saya punya beberapa teman yang bisa saya colek untuk bantuin, tetapi tidak semua pekerjaan bisa saya share. So, agar tetap fokus, saya memang harus menjadi selektif, demi bisa memberikan hasil terbaik.
Nah, untuk "menolak" klien karena saya rasa saya enggak akan bisa fokus mengerjakannya, saya sodorin pricelist saya. Biasanya sih terus pada ghosting :))
Tapi, kalau saya rasa saya bisa mengerjakannya dengan baik, biasanya saya ajak ngobrol saja. Sambil menggali informasi tentang si klien--mulai dari apa maunya, apa referensinya, goals-nya apa, dan sebagainya. Dari situ, biasanya saya kemudian bisa memberikan harga tersendiri.
Kalau kantoran, di awal kerja memang ditanyain mau gaji berapa sih. Tapi, pada akhirnya ya teteup, mengikuti standar kantor. Just take it or leave it soalnya.
Pilih sendiri "bos" kamu
Nah, itu dia. Sebenarnya freelancer modelan saya sih masih lebih suka klien-klien yang jangka panjang gitu ya. Meski fee-nya juga menyesuaikan. Nah, kalau modelan freelancer yang benar-benar free gitu, bener-bener based on projects, kadang kerja sama klien ya dalam satu empasan doang. Berikutnya sudah ganti klien lagi.
Yang kayak gitu tuh, nggak ngebosenin banget sih, dan kita punya peluang untuk berkembang yang luas banget. Bisa belajar dari banyak orang, bisa ada tantangan terus.
Kalau ngantor, mana mungkinlah kita bisa memilih mau kerja dengan siapa. Kalau coworkers atau atasan menyebalkan, ya kudu diterima-terimain. Tinggal bisa bertahan berapa lama?
Fleksibel waktu
Ya yang pasti memang enggak harus masuk jam 7 pagi, atau 8 pagi, dan selesai di jam 4 atau 5 sore, kek kantoran (meski banyak juga orang kantoran yang lembur. Saya sih enggak mau lembur kemarin-kemarin ini pas saya ngantor. Dibilang nggak loyal, ya bodo amat) Tapi, saya tetep lebih suka bekerja dengan frame waktu. Jadi, kalau misalnya ada klien yang WA saya jam 9 malem, ya maap ya. HPnya udah matik.
So, biar freelancer fleksibel, tapi tetap ada batasnya. Kalau enggak, bisa stres beneran dah. Tapi memang fleksibel, karena orientasinya ke hasil. Mau kapan pun kamu kerjakan, yang penting pas tenggat ya harus selesai. Mau kebut semalem, mau dicicil sedikit-sedikit, terserah kamu.
Minusnya Jadi Freelancer
Kemurahan atau kemahalan
Karena menentukan gaji sendiri, kemurahan atau kemahalan kadang ya biasa. Namanya nembak pake insting. Huahahahah. Kalau kemahalan, ya terus ghosting itu.
Kalau kemurahan, nah, nanti rada susah kalau jangka panjang sih biasanya. Ini inflasi udah naik tinggi, fee masih segitu terus :))
Gaji kantor sih biasanya naik seiring inflasi. Kalau misalnya enggak, berarti ada yang salah sama kantormu.
Hari ini atau besok bisa kehilangan klien
Ya, kayak cerita saya di atas. Hari Rabu dikabarin, kalau hari Jumat terakhir. Atau pernah juga saya ngalamin, tanggal 30 saya kirim invoice dan planning buat bulan berikutnya. Eh, tahunya itu adalah bulan terakhir :))
Kudu kuat jantungnya kalau jadi freelancer tuh, emang. Karena enggak ada yang pasti. Bulan lalu sibuk, full, sampai ngesot-ngesot ngerjain proyek, ternyata bulan ini zonk. Hal yang kerap terjadi di kehidupan freelancer.
Ya, kalau di kantor, enggak ada sih kejadian gini. Memang ada klien kantor sih, tapi bebannya semacam dibagi rata untuk semua orang. Nggak ditanggung sendirian. Seharusnya, ya.
Peluang kerjaan numpuk yang sangat besar
Enaknya kantoran itu sebenarnya karena punya atasan, partner, dan HR yang siap untuk memecutmu kalau kamu kendur semangat kerjanya. Kalau freelancer, enggak ada, cyint. Mau pecut, ya pecutlah sendiri.
Padahal mood ya sama saja, moody banget. Kadang seharian bingung, ngapain aja sih ini tadi? Kok nggak ada yang beres? Kalau kerja di kantor ya, enaknya ada partner yang bisa dibagi kerjaan. Kalau mau cuti juga ada yang backup. Freelancer gini, kalau mau cuti, kerjaan pasti numpuk di depan atau di belakang. Hadeh. Cuti 3 hari, lemburnya 6 hari.
Tapi ya, memang semuanya wang sinawang sih. Freelancing kayak gini tuh sebenarnya agak "membahayakan" buat jiwa labil kek saya. Pas freelancing, overthinking karena klien hilang. Pas kantoran, sebel karena ide-ide dan kreativitas kayak dikekang.
Tapi yah, kayaknya sih buat saya semua handle-able. Soal klien yang suka mutusin sepihak itu ya, termasuk risiko juga yang seharusnya bisa dimitigasi. Salah satu mitigasinya: saya seharusnya punya produk mandiri, tanpa ketergantungan pada ada atau enggaknya klien. Misalnya, bikin podcast sendiri, atau video tutorial yang dimonetasi, atau bikin kelas online, atau bikin ebook. So, enggak ada klien pun, saya tetap bisa jalan. Padahal sudah ada masterplan-nya, tinggal eksekusi. Kok ya selalu ada alasan ini itu yang bikin menunda eksekusinya.
Ckckck. Memang keterlaluan sekali. Tapi apa daya, mau jadi sugarbaby, saya sudah ketuaan.
Paling nggak bisa saya disuruh pasrah. Rezeki sudah ada yang mengatur, katanya. Iya, bener. Ini saya percaya. Harusnya saya lebih percaya sih, kalau memang sudah ada rencana tertentu. Tapi ya gimana ya, kadang ya pengin yang pasti-pasti aja, biar bisa dijalanin dengan nyaman.
4 comments
Makasih mba tulisannya, menginspirasi saya buat jadi freelancer. ☺️
BalasHapusDari sekian banyak blogger, mungkin ini salah satunya orang yang disebut blogger sejati. Hasil tulisannya benar benar murni dan begitu menebar banyak manfaat. Dari sini saya mendapatkan ilmu dan wawasan luarbiasa. Terimakasih dan semoga tambah sukses untuk pemiliknya dan situs blognya☺️
BalasHapushmmmm, beneran lama ga apdet ki...
BalasHapus*gelar karpet merah* wih, dikunjungi senior.
Hapus