Workshop Content Creator Sapa Sahabat Keluarga Kemendikbud: Belajar Menulis Esai Bareng Gol A Gong
Gol A Gong. Saya mengenalnya melalui tulisan serialnya yang muncul di majalah Hai di kisaran tahun 80-an, Balada Si Roy. Seiring waktu, saya pun tahu bahwa beliau juga menulis esai.
Iya, usia nggak bisa bohong. Ya terus kenapa? Saya malah bersyukur, saya pernah menjadi saksi masa-masa jayanya Gol A Gong, Hilman Hariwijaya, dan BuBin lantang di majalah Hai. Benar-benar dimanjakan deh dengan tulisan mereka. Saya masih usia sekitar 8-10 tahunan sih, tapi yah, waktu itu baca Lima Sekawan aja udah enggak cukup. Hahaha.
Memendam rasa kagum, dan saya baru bisa kesampaian bertatapan langsung dengan Gol A Gong sekarang. 30 tahun kemudian. Oh. My. God. Hahahaha.
Asli bengong dan ngeblank saat saya menyadari beliau hadir di Ruang Wibisono Hotel Jayakarta, 19 Desember 2018 lalu, dalam event Workshop Content Creator Sahabat Keluarga Kemendikbud.
"Ini ya Gol A Gong? Iya."
Tapi saya nggak sampai jejeritan layaknya ciwi-ciwi yang fangirling sih. Hahaha. Inget umurlah ya. Lagian saya tipe yang suka mengagumi orang tuh dari jauh. Diem, tapi mengawasi gitu. Tsah.
Tapi bukan karena itu juga saya kurang hebohnya sih. Soalnya pada menit berikutnya, saya bagai diterjang gelombang pasang begitu kelas Menulis Esai ini dimulai. Saya kek nggak dikasih kesempatan untuk sekadar kagum, karena begitu banyaknya hal baru digelontorkan dan dijejalkan ke dalam otak saya.
So, kali ini, saya pengin menuliskan ulang apa-apa saja yang saya pelajari dari kelas Menulis Esai bareng Gol A Gong. Siapa tahu ada teman-teman yang juga pengin tahu cara menulis esai yang bener.
Ready? Kita mulai dulu dari awal.
Apa itu Esai?
Dok. Fuji Rahman Nugroho |
Nah, sama kita.
Ternyata dalam workshop inilah saya benar-benar baru ngeh apa itu definisi esai yang sebenarnya. Ternyata ada beberapa hal yang menjadi unsur utama tulisan esai dan menjadi ciri khasnya--dalam artian tidak ada pada jenis tulisan lainnya.
Tulisan esai itu:
- Termasuk dalam jenis tulisan jurnalistik. Jadi ada banyak etika jurnalistik yang harus terpenuhi. Salah satunya, unsur 5W 1H harus lengkap tercakup.
- Mengandung opini atau pendapat penulis, sehingga sifat subjektivitasnya akan sangat dominan. Nah, tapi mesti hati-hati. Karena, meskipun subjektif, tapi penulis harus tetap menulis secara objektif dengan didukung oleh data-data yang akurat. Jadi, ya nggak boleh asal njeplak, apalagi menebar hoaks. Big no no ya.
- Memberikan solusi. Tulisan esai biasanya memang bermuatan kritik, karena biasanya ditulis lantaran penulisnya merasakan keresahan tertentu akan lingkungannya. Namun, nggak berhenti di situ, penulis harus bisa menyertakan penawaran solusi dalam tulisan esainya juga. Jadi ya, itu deh bedanya dengan sekadar tulisan status Facebook, yang nyinyir doang tanpa memberikan solusi. (Ini beneran disebutkan oleh Kang Gol A Gong lo :)) Bukan cuma saya yang tulis di sini.)
- Gaya sastra. Nah, ini nih yang menjadi sifat tulisan esai yang paling khas--seenggaknya menurut saya sih. Jadi meski yang ditulis adalah faktual--berdasarkan fakta-fakta yang ada--tapi gaya nulisnya seperti gaya fiksi, lebih khusus lagi; gaya sastra.
Siapa Saja Penulis Esai yang Mesti Kamu Pelajari Gaya Tulisnya?
Dok. Fuji Rahman Nugroho |
Tokoh penulis esai lain yang wajib dipelajari juga gaya tulisnya adalah:
1. Emha Ainun Najib
Beberapa esainya antara lain Burung Pilkada, Tanah Halal Air Halal, Austranesia, Nabi Membakar Masjid, Harga Diri Ayam (kelimanya ada di buku kumpulan esainya yang berjudul Jejak Tinju Pak Kiai. *aight, sepertinya masuk ke daftar must have nih, karena penasaran juga dengan jenis tulisan esai ini*), dan lain-lain.2. Goenawan Muhammad
GM sih mempunyai jatah sendiri di rubrik Catatan Pinggir Majalah Tempo.Beberapa esainya antara lain Origami, Batman, Kakawin, dan lain sebagainya.
Wew, mendengarkan Kang Gol A Gong menjelaskan sampai di sini, saya sih sempat garuk-garuk kepala. Kalau role model yang ditawarkan adalah Emha Ainun Najib atau Goenawan Muhammad apa ya nggak kejauhan ya? :-|
Kejauhanlah, Kang! T__T huhuhu ...
Tapi, baiklah. Kita pikirkan nanti, yang penting kalau kamu mau mulai menulis esai, perbanyaklah mempelajari tulisan mereka bertiga: Gol A Gong, Emha Ainun Najib, dan Goenawan Muhammad.
Eh, tapi kalau tulisan Kalis Mardiasih bisa digolongkan esai juga enggak sih? Apa nyinyir aja? Hahaha. *dikeplak Kalis* Kalau bisa, well, sepertinya Kalis bisa menjadi role model yang paling dekat sih.
Mencari Ide untuk Tulisan Esai
Dilepas di Transmart Jogja, untuk melatih kepekaan kami menangkap masalah yang terjadi di lingkungan. Dok. pribadi. |
Nah, sampai di sini, saya menemukan (semacam) penguatan teori bahwa menulis memang soal mengolah rasa.
Kita nih mau menulis apa pun, kalau soal rasa dan kepekaan kita belum terasah, yang nggak bakalan jadi tulisan yang bagus. Mau itu novel, cerpen, puisi, tulisan-tulisan features, bahkan berita, semua dihasilkan dari proses kita dalam mengolah rasa.
So, untuk menghasilkan tulisan esai yang baik, berangkatlah dari ide menulis yang dibangkitkan oleh kepekaan rasa kita terhadap apa yang ada di sekeliling kita.
Cobalah untuk setiap kali kita jalan, rasakan apa yang terjadi di sekitar kita. Beberapa hal seperti trotoar yang dijadikan tempat berjualan, jalanan rusak, pejabat korup, pelajar bolos, itu bisa menjadi sumber ide yang bagus untuk tulisan esai.
Langkah-Langkah Menulis Esai
Lagi pada bisik-bisik bukan karena lagi ghibah ya. Dok. pribadi. |
1. Riset
Ingat, hal mendasar yang paling membedakan tulisan esai dengan tulisan biasa--apalagi yang cuma nyinyir aja--adalah bahwa tulisan esai ini dibuat berdasarkan fakta.Jadi, saat kita sedang resah akan kondisi tertentu dan pengin menuliskannya dalam bentuk esai, maka hal pertama yang harus kita lakukan adalah riset.
Riset ini meliputi:
- Riset lapangan. Misalnya kita mau menulis mengenai fungsi trotoar, maka kita bisa langsung survei ke lokasi. Amati trotoar, beri diri sendiri pengalaman berada di trotoar, lalu lakukan wawancara dengan pejalan kaki, pedagang kakilima, dan pengguna lainnya.
- Riset pustaka, yang bisa kita lakukan melalui membaca literatur-literatur misalnya buku, majalah, atau gugling juga bisa. Misalnya kita beri pembanding dengan kondisi trotoar di luar negeri. Atau berikan data-data statistik. Pokoknya apa pun yang bisa menguatkan argumentasi kita.
2. Menentukan topik
Temukan angle penulisan yang pas. Mau menulis dari kacamata siapa? Masih dengan contoh ide trotoar tadi, apakah kita hendak menulis dari kacamata pejalan kaki, atau mungkin pedagang kakilima?Setelah kita menentukan topik, dan juga sudah mewawancarai narasumber (yang boleh saja kita lengkapi lagi), maka selanjutnya kita harus mengolah data-data tersebut dalam kerangka 5W 1H.
3. Menulis
Setelah semua data lengkap, juga sudah ada kerangka dan tesis yang tercakup dalam 5W 1H, maka selanjutnya kita bisa langsung menuliskan esai kita.Catatan sedikit nih. Untuk tulisan esai, kita bisa menuliskannya dalam point of view orang pertama--yang berarti tokohnya adalah "saya" atau "aku"--atau bisa juga dalam point of view orang ketiga, dengan menyebut nama orang yang fiktif.
Kalau Emha Ainun Najib itu punya tokoh rekaan yang disebutnya Markesot, atau Pak Kiai. Kita bisa juga punya persona yang lain. Nggak selalu harus "saya".
4. Revisi
Kalau kata Kang Gol A Gong sih, "Tidak ada karya yang sukses tanpa melewati revisi."Jadi ya, setelah tulisan selesai, mintalah beberapa orang untuk membacanya. Siapa tahu mereka menemukan hal-hal yang kurang dan bisa ditambahkan lagi. Atau malahan mereka bisa menemukan antitesis yang bisa "meruntuhkan" opini kita. Dengan demikian, kita bisa merevisinya agar lebih kuat dan lebih baik.
Kalau di media sih biasanya ada editor yang bertugas untuk memoles tulisan kita agar lebih baik. Tapi, sebelum sampai di editor, kita sendiri memang mesti melakukan swasunting terlebih dahulu.
5. Judul = imajinasi
Nah, ini juga hal-lama-yang-ternyata-jadi-baru juga buat saya.Zaman sekolah dulu memang diajarkan bahwa kalau membuat judul karangan itu haruslah singkat, padat, dan jelas. Tapi semakin ke belakang, saya itu kalau bikin judul selalu panjang bet :)) Kebiasaan nulis buat portal kali ya. Jadi formula judul saya itu selalu ada triggering words, emotional words, dan promise.
Tapi untuk tulisan esai, formula ini tak bisa berlaku.
Kang Gol A Gong sendiri memberikan batasan bahwa judul nggak boleh lebih dari 4 kata. Bahkan Goenawan Muhammad sendiri seringnya menggunakan judul satu kata aja.
Lebih dari itu, judul nggak boleh spoiler dan harus imajinatif--bikin penasaran, singkatnya sih gitu.
Ya coba saja tengok judul-judul esai Cak Nun. Misalnya seperti Nabi Membakar Masjid. Wah, kan ya bikin penasaran banget. Kenapa Nabi sampai membakar masjid?
PR banget nih untuk bikin judul begini mah :))
Siapa hayo yang kalau nulis, tulisannya selesai 1 jam, mikir judulnya seharian?
Ayo, sini, duduk sama saya. Hahaha.
Dalam workshop itu, kita--para peserta--juga diberikan kesempatan seluas-luasnya untuk langsung mempraktikkan setiap tahapan dalam menulis esai ini. Misalnya, kita diminta untuk mengunjungi Transmart Jogja untuk melakukan survei dan merasakan pengalaman berada di sana.
Tak hanya itu, banyak juga games yang kita lakukan dipandu oleh Kang Gol A Gong, yang kesemuanya tuh bisa banget melatih kepekaan olah rasa kita, yang berguna untuk melatih skill menulis kita.
Kesimpulan
Mamak hepi! ^_^ Dok. Ardian Kusuma |
Tapi, menulis esai memang sesuatu. Beda deh. Saya banyak memperoleh hal baru dalam proses belajar menulis esai ini. Terutama soal kepekaan terhadap lingkungan. Ternyata, saya belum sepeka itu.
Saya mesti belajar lagi, untuk lebih peka terhadap lingkungan saya. The world is not only spinning around me.
Nah, itu sedikit catatan saya saat belajar menulis esai bersama Gol A Gong.
Selesai?
Belum.
Di tulisan selanjutnya saya akan share catatan saya saat mengikuti sesi How to Make a Movie bareng Iqbal Film Maker Muslim.
Iya, karena udah 1600 kata lebih ini. Hahaha. Stay tuned yak. Semoga energi saya masih tersisa untuk menulis.
11 comments
Aiiih senengnya berjumpa semuanya dan juga ketemu mamak syantik yang kece seperti dirimu mbak 😊😘eeay
BalasHapusAmbil buku, catat point-nya satu-satu 😊. Nuwun share-nya.....
BalasHapusKeren Mak. Banyak pencerahan tentang esai yang ternyata baru saya tahu sekarang.
BalasHapusUwuwuwuw.....ternyata kemaren itu ketemu akang idola tho 😄
BalasHapusRacun beliau itu. Jadi terbawa ingin menulis esai lagi. Sudah lama terlalu lean dg gaya blog. Aku dah punya esai yg dibukukan btw,tapi keroyokan gitu lah biasa hehehee. Membaca lagi trus kelihatan deh kekuatan diksinya yg nggak berbekas lagi di blog.
BalasHapusVery nice conclusions. Yu Yem nyatetnya komplit, asti jaman sekolah aling sering dipinjam catetannya ya....
BalasHapusBikin judul adalah hal tersusah dalam membuat artikel, btw ini masih bersambung??
BalasHapusLuar biasaaa... Tapi memang 1600 kata belum cukup rasanya mewakili keseruan kita kemarin ya, Mak
BalasHapusWuih catatannya rapi euyy, kayak zaman sekolah hahahahaha. Aku save ya catatannya.
BalasHapusUdah 1600 kata nulisnya? Kok nggak terasa ya bacanya.. beda deh kalo baca tulisan master begini..
BalasHapusKeren banget Mbk, baca ini ikutan belajar menulis esai biar makin kece blogku kelak hehe...
BalasHapus