7 Fakta Buruk Kerja Sebagai Freelancer - Yang Mau Mulai Mesti Tahu!
Hae! Coba yang kerja sebagai freelancer, mana suaranya? *acungin mikrofon*
Enak nggak sih, kerja freelancer itu?
Iyah, konon katanya, kerja freelance itu yang paling enak. Memerdekakan, begitu katanya. Jadi bos untuk diri sendiri, istilah kerennya. Ya gimana enggak kan, skedul kerja bisa fleksibel, dan kita juga bisa memilih project yang menurut kita paling oke untuk dikerjakan.
Bener nggak sih?
Puji Tuhan, tahun ini adalah tahun keempat saya secara penuh bekerja sebagai freelancer, setelah sebelumnya saya juga bekerja sebagai full timer, dan juga pernah mencicipi part timer. Catatan, saya sebelumnya sudah mulai punya side job sejak tahun 2010.
Jadi, bisa dibilang, totalnya sih sudah 8 tahun saya mencoba bekerja freelance, dengan 4 tahun di awal masih menjadi karyawan tetap sebuah perusahaan.
Saya kira perjalanan karier saya sebagai freelancer bisa dibilang sedikit banyak karena keberuntungan. Saya tak pernah merencanakannya, hanya saja, saat memutuskan saya memang yakin, kalau pola kerja freelancer akan lebih cocok untuk saya yang suka begah dengan aturan. Hahaha.
Iya, saya memang ga suka diatur--kalau ga bisa dibilang susah diatur. Aturan membuat saya terkungkung. Apalagi kemudian ditambah dengan komitmen saya pada keluarga.
Sebenarnya sih, kerepotan dan rasa pakewuh akibat terlalu sering izin karena mengurus sekolah anak-anaklah yang terutama menjadi alasan saya akhirnya memutuskan untuk menjadi freelancer. Karena untuk resign dan benar-benar hanya menjadi ibu rumah tangga, jelas itu bukan hal yang menjadi cita-cita saya. Saya tetap pengin mengerjakan sesuatu, dan punya penghasilan sendiri. Saya ingin mandiri secara finansial, meski saya sudah jadi istri orang.
Itulah beberapa hal yang menjadi alasan saya, mengapa saya bertahan untuk bekerja meski sudah punya anak. Dan, baik keluarga dan karier, dua-duanya sebisa mungkin bisa saya jalankan bareng. Kalau bisa pun, satu sama lain saling mendukung.
So yeah, akhirnya saya freelancing.
Setelah menjalaninya secara penuh selama 4 tahun, the truth is freelancing is a bit overwhelming at times. At least, untuk saya.
Setidaknya ada 7 ugly truths about freelancing ini sudah saya alami dan membuat saya kecemplung dalam situasi love and hate relationship dengan pekerjaan sebagai freelancer.
7 Fakta buruk kerja sebagai freelancer
Wkwkwkw. Hadeeeeh. Image via Pinterest. |
1. Kita bertanggung jawab pada diri sendiri
Salah satu beda yang paling besar antara pekerjaan tetap dan pekerjaan lepas adalah soal tanggung jawab.Kalau dulu kita harus bertanggung jawab pada atasan, maka saat kita bekerja sebagai freelancer, kita akan bertanggung jawab pada diri sendiri, selain pada klien.
Agar akuntabilitas kita tetap terjaga, kita harus bisa menetapkan target atau goals kita sendiri. Mau bikin penghasilan berapa nih, sebulan? Harus bisa menyelesaikan seberapa banyak project dalam setahun? Bisa ketemu dengan berapa klien? Dan seterusnya.
Setelah itu, ya, dievaluasi sendiri juga.
Hal yang menyenangkannya adalah si target itu, karena kita sendiri yang membuatnya, maka semudah itu pula kit akan menganggap ringan.
“Ah, nggak apa-apa deh, hari ini nggak kepegang. Besoklah dikejar. Sekarang leyeh-leyeh dulu aja deh.”
Besok? Only God knows.
So, mau memulai kariermu sebagai freelancer, coba tanyakan pada diri sendiri dulu, apakah kamu sudah cukup punya disiplin pada diri sendiri?
Karena kalau kerja kantoran, ada HRD yang siap tegur kalau kita menurun performanya. Di freelance? Nggak ada. Yang jadi HRD, ya diri kita sendiri. Kalau nggak siap dengan disiplin diri yang kuat, ya bhay saja deh~
Karena akibatnya sudah pasti, klien nggak akan percaya lagi sama kita. Kalau nggak bisa disiplin, nggak bakalan bisa sukses kerja sebagai freelancer.
2. Freelancing itu berarti kerja sendirian
Masak, masak sendiri. Makan, makan sendiri. Cuci baju sendiri. Tidurku sendiri ~~~
Iya, itu mah lagu dangdutnya Caca Handika.
Tapi ya kurang lebih samalah dengan para freelancer.
Cari klien sendiri, kerjain sendiri, presentasi sendiri, evaluasi kinerja sendiri, bebersih meja kerja sendiri.
Tapi ya teteup. Semua selalu ada sisi enaknya.
Kerja sendiri means kita hanya memikirkan diri sendiri saja, gimana caranya biar performa dan kinerja lebih baik. Tak tergantung pada rekan kerja alias coworker.
Saya pernah nih, kerja dan kerjaan saya tuh tergantung pada hasil yang diberikan oleh rekan kerja yang lain. Kalau hasil kerja si coworker busuk, ya saya juga bakalan menghasilkan sampah.
Saya juga bebas dari basa-basi sesama rekan kerja, saya juga bebas dari "kewajiban" untuk momong orang lain. Baik-baikin, biar enak kerjanya, padahal si coworker itu kampret abis, misalnya. Wkwkw.
Iyaa ~ Saya bebas dari semuanya itu!
Bhay, basa-basi nggak penting!
3. Klien kita akan sangat demanding
Klien adalah bos, bagi seorang freelancer.Dan, sebagai bos, mereka harus dibikin senang. Dibikin puas!
Paling sebel adalah saat ketemu klien yang sangat demanding dan suka mendikte, tapi sebenarnya kurang ngerti apa yang sedang kita kerjakan. Hahaha. Sumpahlah, stres banget ini!
Misalnya nih, desain brosur.
Sudah mintanya cepat, desain pun berubah-ubah sesuai mood klien.
“Ini kotaknya dibikin miring sedikit, bisa?”*nangis*
“Font-nya kurang oke ah! Ganti dong!”
“Eh, warna backgroundnya ganti saja deh. Cepet kan nggantinya?”
"Meja di bagian depan ini diilangin aja. Bisa kan?"
"Ini tulisannya biru aja. Backgroundnya kan item tuh. Bagus tuh. Biru sama item."
Ya, begitulah. Cuma bisa sabar ya, cyin! Wkwkw.
4. Posisi kita kadang begitu lemah
Nah, ini yang sudah dan sedang saya alami.Kadang, kita sebagai freelancer, harus kerja dulu. Urusan nanti.
Iya, ini saya sih. Menggampangkan hal-hal yang terlihat kecil dan remeh-temeh, padahal penting.
Terutama saat saya sedang mengerjakan konten tulisan.
You see, kalau desain grafis, kita bisa mengakalinya. Misalnya, artwork final yang kita kirimkan adalah yang resolusi kecil. Semacam sebagai bukti approval, dan bukti kalau sudah kita kerjakan. Iya kan? Saat si klien sudah membayar lunas, kita pun menyerahkan artwork resolusi besar.
Tapi saya masih belum bisa mencari solusi kalau untuk konten tulisan.
Saat saya selesai mengerjakan konten tulisan, pastinya saya akan mengirimkan tulisan itu pada klien. Klien akan memeriksa, dan kalau lolos, akan ditayangkan di web mereka. Setelah itu, baru mereka membayar.
Jika mereka bisa komit, tentunya ini nggak masalah.
Nah, yang sedang saya alami sekarang adalah ada sedikit perubahan sistem pada instansi yang menjadi klien saya, yang menyebabkan pembayaran fee konten saya tertunda sampai hampir 4 bulan.
Nah, di sini saya tidak bisa berbuat apa pun. Birokrasi dan prosedur instansi klien saya itu memang ribet, saya bisa apa? Saya juga tidak ada kontrak. Selama ini hubungannya benar-benar seperti jual dagangan saja. Saya dapat pesanan, kerjakan, setor. Lalu, setelah selesai sekian konten sesuai yang diminta, saya seharusnya dibayar.
Tapi ini enggak.
Bahkan saat menanyakan pun, bagian keuangan dengan teganya bilang begini, "Ya, gimana. Ini pekerja kontrak bukan, tenaga lepas pun bukan. Jadi belum diverifikasi juga sampai sekarang."
Lha terus, Pak? Sampai kapan saya mesti nunggu fee saya? *nangis*
Hanya Tuhan yang tahu.
Yha! |
Iya, saya salah. Saya mau saja mengerjakan order tanpa kontrak. Tanpa MoU. Jadi pelajaran banget deh ini. Semoga dengan berbagi "kesalahan" ini, teman-teman jadi lebih aware ya. Lebih baik kalau semua pekerjaan ada MoU.
Saya juga pernah nih, mengerjakan satu artikel kecil, bayaran tak seberapa. Hanya Rp50.000. Kerjaan sudah saya setorkan. Saya juga nggak mau ribet kan, karena pikir saya, ah, cuma lima puluh rebu ini. Tapi sampai sekarang, saya masih belum menerima fee saya. :))) Iya, perih banget emang. Tadinya saya juga merasa, ya ampun. Cuma 50ribu saja kok ya pakai ditagih? Tapi ya, nyatanya sampai sekarang nggak pernah ada. Hvft.
Duh, maaf, malah jadi curcol kepanjangan. Tapi, ini saya sih sebenarnya lagi minta saran. Siapa tahu ada yang bisa kasih saran or solusi buat saya. Hehehe.
Apa yang harus saya lakukan ya? Seandainya saya bisa ngakalin kayak kalau saya lagi ngerjain artwork desain grafis itu, tentu akan lebih aman buat saya kan?
Kalau ada yang punya ide or saran, silakan ditulis di kolom komen ya. Makasih banget lo.
Sebenarnya kalau kita kerja sebagai freelancer di freelance marketplace, semacam Sribulancer, Projects.co.id, itu lebih safe, karena kan sistemnya klien akan membayar dulu ke pihak marketplace-nya. Saat kerjaan selesai, kita pun pasti dibayar.
Tapi kok ya kerjaan di sana itu kok murah beneur ya. LOL. Kadang ya kurang ikhlas saja sayanya, meski kalau terpaksa ya ga papalah.
5. Kita harus punya peralatan tempur kita sendiri
Ya, kalau kita kerja di kantor, tentunya hal ini akan jadi kewajiban perusahaan untuk melengkapi infrastruktur yang kita butuhkan untuk dapat menyelesaikan pekerjaan dengan baik.Berbeda kalau kita sudah freelancing. Ya, pastinya kita harus usaha untuk punya peralatan kerja dulu.
Bagusnya, kita bisa menyesuaikan spesifikasi yang dibutuhkan. Nggak bagusnya, kadang nggak punya modal buat punya yang sesuai. Wkwkwkw.
Setop, Mak! Sebelum curcol lagi.
6. Harus selalu siap update dan sigap upgrade
Persaingan freelancer itu bisa dibilang "sunyi" tapi lebih mengerikan. LOL. Karena itu, kita mesti siap dengan berbagai perubahan yang terjadi.Misalnya, sekarang zaman-zamannya tulisan listicle ala-ala Buzzfeed. Saya sudah sekitar 2 tahunan nguplek-uplek di zona ini.
Dan, sekarang saya mulai bersiap, akankah model konten baru yang bakalan ngeheits berikutnya?
Kecepatan saya untuk meng-update pekerjaan dan kemudian meng-upgrade diri saya sendiri menjadi penentu apakah saya masih bisa survive di tren berikutnya.
Begitu juga dengan desain.
Misalnya sekarang lagi musim desain-desain grafis dengan white-space yang dominan, dengan font tipis panjang.
Saya harus terus memantau tren, karena saat tren berganti, maka saya juga harus sigap mengubah dan menyesuaikan diri.
Memang sih, hal ini akan membuat kita jadi kurang khas. Seharusnya kita memang punya signature sendiri. Tapi, ya kadang kita harus realistis. Kita ini siapa? Kita masih pekerja medioker, yang bisanya cuma manut sama klien. Kita yang menawarkan diri pada klien, kan? Belum pada tahap dicari oleh klien?
Ya, kecuali kalau kita sudah sebesar Rob Janoff atau Michael Bierut (yang ga tahu mereka, silakan googling aja ya?). Atau kalau blogger ya, siapa sih kita? Bukan Darren Rowse ini.
7. Makna liburan jadi bergeser
Haha. #MenurutNgana? |
Inilah yang kemudian memberi makna baru pada kata ‘liburan’.
Liburan, apalagi yang tanpa mikirin kerjaan? Sepertinya sulit! Yang banyak kejadian adalah pas sudah mau liburan, ternyata dapat tawaran project yang menarik.
Mau nggak dikerjain, kok sayang. Mau dikerjain, hadeh, masa liburan sambil bawa laptop?
Ya, akhirnya liburan sambil bawa-bawa laptop kerjaan deh.
Konon katanya, kenapa enggak sih liburan sambil kerja. Kan asyik? Hmmm … saya kok bilang, enggak juga ya. Bagusnya ya, kalau liburan ya liburan! Demi keseimbangan jiwa, jangan mikirin kerjaan.
* * *
Demikianlah, beberapa fakta buruk atau ugly truth mengenai kerja sebagai freelancer.
Tapi memang sih ya, segala sesuatu itu kan ada seneng susahnya, plus minusnya. Tapi, saya sih percaya. Saat yang seneng-seneng kita rasakan itu bisa mengalahkan yang susah-susahnya, berarti kita sudah mencintai pekerjaan tersebut.
So, sudah siap beneran kerja sebagai freelancer?
Bon voyage!
4 comments
SEMUA POIN SANGAT MEWAKILI ISI HATI MANTAP MANTAP MANTAP HAHAHAHAHA
BalasHapushaha aku pernah tuh, liburan masih sibuk dengan draft tulisan. Udah publish, eh masih ada yg kurang ini, minta ditambahin itu. Kezeeel!
BalasHapusSekarang sebisa mungkin kalo ada tawaran job di hari-hari mendekati liburan atau berangkat ke luar kota, job nya nggak aku terima *kecuali kepaksa hahaha
Btw semoga aku bukan klien yg cerewet saat minta dibikinin desain :D
mbakk Carra, ya Allah aku ini pembaca bukumu yg berfaedah bgt itu mbak, yg di dunia blogging :) Btw ttg freelancer ini sangat sangat sangat benerrrr. Dan emang ga ad abatesan antara work day dan holiday, wkwkwk.
BalasHapusHm, kalo mau mastiin konten ke klien ya *mikir* kirim outline doang juga ga bisa kan mbak :( Atau lagi on progress kl kerjaannya borongan, bisa dikirim separodulu, fee separo gitu mbak, wkwk. Masuk ga sih?
Dan dan, aku juga pernah drama nagih2 mulu itu, palingan tiap hari ditanyain "progressnya udah sampe mana mbak?" dsb. bisanya sebatas begitu. Memang sih, lbh save di projects dan sribulancer ya mbak, cuma mesti pilih2.
Duh panjang juga, haha. Smg next time bs kopdar sama mbak Carra^^
kak, saya selaku pekerja kantoran pun skrng masih susah buat nyari freelance buat tambahan dana.. kalo boleh tau nyari freelance dimana ya yang emang real..
BalasHapus